3  UTS-3 My Stories for You

Satu Gigitan Kue Putu

About Me

Oleh Antania Hanjani Y. P.

Ada beban tak kasat mata yang menekan pundakku akhir-akhir ini. Sebuah pertanyaan terus menggema di kepalaku: “Apa menjadi dewasa memang semelelahkan ini?”. Rasanya aku seperti tersesat, kebingungan memilih arah hidup. Ironis, aku bahkan belum genap berusia dua puluh.

Malam itu, empat dinding kamar berukuran 3x3 serasa ikut menghimpit napas. Tekadku bulat. Malam ini aku akan tidur lebih cepat, sengaja tak ku hiraukan tumpukan kertas tugas di meja belajarku. Kuharap, esok pagi akan menghapus jejak resah malam ini.

Aku terbangun. Sunyi. Satu-satunya suara nyata di tengah kesunyian ini adalah perutku yang memberontak. “Ah, lapar,” gumamku pelan, satu keluhan paling jujur pagi itu.

Dengan segera aku menyambar jaket dan headphone berwarna krem yang tergeletak di kursi, membiarkan pakaian tidur kemarin malam menjadi saksi bisu pelarianku dari kamar yang sesak.

Udara pagi yang dingin menyambutku. Pasar tradisional di dekat kos sudah sibuk dengan suara tawar-menawar pembeli. Mataku tertuju pada kue basah yang tersusun rapi di dalam kotak bening. Entah kapan terakhir kali aku mencicipinya. Kuputuskan untuk memborongnya, seolah membeli kembali kepingan masa lalu yang hilang.

Dengan kantong plastik di satu tangan dan pikiran yang masih berkecamuk, kakiku melangkah menuju Djuanda. Jalanan ternyata sudah ramai oleh orang-orang yang bersepeda dan berjalan santai. Ah, benar, ini car free day. Pohon-pohon di sepanjang Dago berdiri teratur, sebuah kontras dari isi kepalaku yang porak-poranda.

Aku menatap layar ponsel, membiarkan jariku memilih lagu secara acak di aplikasi pemutar musik. Alunan gitar Adhitia Sofyan dalam “Forget Jakarta” mengalun lembut, memberi izin bagi pikiranku untuk berhenti berlari. Aku terdiam melihat cahaya matahari pagi yang menerobos celah dedaunan, menciptakan kilau lembut di atas aspal. Pagi ini, Dago begitu cantik, dan aku baru menyadarinya.

Satu gigitan kue putu menghentikan segalanya. Manis gula merah dan gurih kelapa meledak di mulutku, bukan hanya sebagai rasa, tapi sebagai mesin waktu. Tiba-tiba, aku teringat Antania kecil. Gadis dengan mata coklat yang berjanji pada dirinya sendiri-“suatu saat nanti aku akan tinggal di Bandung”. Ia bermimpi bisa berjalan santai di bawah rindangnya pepohonan Dago.

Dan di sinilah aku sekarang. Berada tepat di tengah-tengah jawaban dari impian masa kecilku.

Berkat satu gigitan kue putu itu, pertanyaan semalam akhirnya menemukan jawabannya. Aku tidak tersesat. Kelelahan ini, kebingungan ini, bahkan kamar 3x3 yang sesak itu—semua adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan menuju mimpi yang dahulu hanya angan.

Beban di pundakku tidak lenyap, tapi ia bukan lagi batu yang memberatkan, melainkan penanda bahwa aku sudah berjalan sejauh ini. Dan karena itu, aku akan terus melangkah.